Masa Depan Pala Banda
Diposting Jumat, 14 November 2025 01:11 pmBEBERAPA abad silam, Kepulauan Banda di Maluku menjadi pusat perebutan dunia. Pala Banda, disebut sebagai “emas hijau” Nusantara, begitu berharga hingga Belanda rela menukar Pulau Run dengan Manhattan pada 1667 demi memonopoli rempah ini. Kini, Indonesia masih menjadi produsen pala utama dunia, memasok sekitar 31 persen produksi global, dengan Maluku berperan penting sebagai daerah asal rempah legendaris tersebut. Namun, kekayaan alam semata tak menjamin kemakmuran. Meski rempah melimpah, Maluku masih tergolong tertinggal secara ekonomi, angka kemiskinannya pada 2024 mencapai 16,4 persen, termasuk lima tertinggi nasional. Nilai pala yang dulu setara emas kini bagi petani Banda kerap “jalan di tempat” karena sebagian besar dijual mentah. Penguatan sektor pala tidak boleh berhenti pada nostalgia kejayaan masa lalu, melainkan harus menjadi strategi konkret untuk masa depan Maluku yang lebih sejahtera. Sudah terlalu lama daerah ini menjadi pemasok bahan mentah sementara nilai tambah dinikmati di tempat lain. Momentum ekspor perdana ke Eropa dan inisiatif pemerintah hendaknya menjadi titik balik menuju hilirisasi yang melibatkan petani, pemerintah, swasta, akademisi, dan generasi muda.
Sebagai komoditas unggulan Maluku, pala memiliki arti ekonomi dan budaya yang sangat penting bagi masyarakat kepulauan. Luas lahan pala di provinsi ini terus meningkat, dari sekitar 34 ribu hektare pada 2019 menjadi lebih dari 36 ribu hektare pada 2022. Produksinya pun tumbuh stabil, mencapai hampir 6 ribu ton per tahun. Dua varietas utama tumbuh di wilayah ini, yakni Pala Banda yang berbuah bulat dan Pala Papua atau Seram yang berbuah lonjong.
Di antara keduanya, Pala Banda menonjol karena kadar minyak atsiri dan myristicin yang tinggi, menjadikannya salah satu pala terbaik dunia. Kualitas istimewa itu membuat Pala Banda terdaftar sebagai produk Indikasi Geografis Maluku, sejajar dengan Kopi Gayo dan Lada Muntok, untuk melindungi keaslian, reputasi, dan nilai jualnya di pasar global.
Di Kepulauan Banda, ribuan keluarga hidup dari pohon-pohon pala yang tumbuh di lahan terbatas namun subur. Meski luas lahan hanya sekitar 267 hektare, Kecamatan Banda mampu menyumbang lebih dari 31 persen produksi pala di Kabupaten Maluku Tengah. Setiap musim panen, biji pala dan fuli kering menjadi sumber utama pendapatan warga. Namun, sebagian besar hasil panen itu masih dijual mentah ke pengepul luar daerah. Rantai pasok yang panjang membuat nilai tambah banyak mengalir keluar Maluku, sementara petani di Banda tetap berada di sisi paling lemah. Padahal, di tingkat global, peluangnya sangat besar. Indonesia masih menjadi produsen pala utama dunia dengan ekspor mencapai 26 ribu ton pada 2021, senilai 198 juta US dollar (sekitar Rp3,13 triliun. Permintaan dunia pun kian berkembang, bukan hanya untuk bumbu dapur, tetapi juga bahan baku industri makanan, kosmetik alami, dan farmasi. Produk turunan seperti minyak atsiri dan bubuk pala olahan kini semakin diminati, memberikan peluang besar bagi daerah penghasil untuk masuk ke pasar bernilai tambah tinggi.
Sumber: https://agri.kompas.com/read/2025/11/12/120000984/masa-depan-pala-banda.
